Aku Bukan Santri, Tapi Aku Muslim Sejati
Bila seorang muslim adalah orang yang selalu memakai sarung, maka Bung
Karno bukan seorang muslim. Bila seorang muslim adalah mereka yang
selalu menggunakan surban, jelas Bung Karno bukan seorang muslim. Tapi
apabila anda berpendapat bahwa seorang muslim adalah mereka yang
menjalankan perintah Allah Swt serta menjauhi larangannya, maka dapat
saya katakan bahwa Bung Karno seorang muslim yang taat beragama. Bung
Karno bukan sosok seorang Islam santri. Itulah saebabnya ia tidak diakui
sebagai seorang pemimpin Islam. Bung Karno tak kalah banyaknya menulis
tentang Islam, bahkan ia lebih banyak menulis dan berpidato mengenai
Islam, yang mengeluarkan pemikiran-pemikiran keislaman, katimbang Dr.
Sukiman yang justru lebih banyak berbicara mengenai nasionalisme
Indonesia. Karena itu dari sudut sejarah perlu dipertambangkan kembali
kedudukan Bung Karno sebagai, paling tidak, seorang pemikir Muslim, yang
turut menyumbang, secara cukup berarti, dalam wacana keislaman. Bahkan
Bung Karno boleh di bidang telah berjasa sangat besar dalam da’wah
Islam. Tidak banyak yang tahu, bahwa Bung Karno, adalah orang kunci
dalam berdirinya Masjid Salman di kampus ITB. Pada suatu waktu, panitia
pendirian masjid Salman pada tahun 1960-an, telah gagal menempatkan
pembangunan masjid tersebut di dalam kampus. Tapi tiba-tiba Bung Karno
menanyakan status rencana pembangunan tersebut dan menanyakan pula
gambarnya dan memanggil panitia pembangunan. Setelah berdiskusi dan
memberi komentar, maka ia menulis dalam rancana itu aku namakan masjid
ini Masjid Salman, dengan inisial Soek. Itu berarti Bung Karno selaku
Presiden RI, telah menyetui pendirian sebuah masjid di kampus. Padahal,
pihak rektorat telah menolaknya yang meminta agar masjid tersebut
dibangun di luar kampus. Dengan demikian, maka Salman adalah masjid
kampus di universitas negeri yang pertama di Indonesia, yang baru
kemudian diikuti dengan berdirinya masjid Arief Rahman Hakim, di kampus
UI, Salemba, masjid Salahuddin, di kampus UGM atau masjid Raden Patah,
di kampus Universitas Brawijaya. Selanjutnya pendirian masjid kampus itu
diikuti oleh hampir semua universitas yang memiliki kampus. Masjid
model Salman ini mengikuti visi masjid modern yang tidak saja merupakan
pusat ibadah (tempat sholat saja), tetepi juga pusat kebudayaan dan
kegiatan da’wah di ka langan terpelajar, khususnya mahasiswa. Pemberian
nama Salman tidak pula sembarangan. Ini mencerminkan pengetahuan Bung
Karno mengenai Islam. Dalam sejarah Islam, sahabat Salman dari Parsi,
dianggap sebagai seorang arsitek, yang mengusulkan dan memimpin
pembangunan benteng berupa parit dalam Perang Chandaq (Perang Parit).
Interpretrasi historis terhadap tokoh Salman ini diterima oleh kalangan
cendekiawan maupun ulama dan menjadi interpretrasi populer yang
diucapkan dalam ceramah-ceramah dan khutbah-khutbah jum’at dalam wacana
da’wah. Sejak munculnya nama Salman sebagai arsitek sahabat Nabi, maka
profesi arsitek Muslim diakui dan menjadi populer. Pola arsi-tektur
masjid modern, juga berkembang, walaupun juga berkat kreativitas Ir.
Noekman, yang sangat dikenal sebagai arsitek Muslim dari Masjid Salman
ITB. Dalam kaitan ini, tidak bisa dilupakan, bahkan Bung Karno sen diri
adalah seorang arsitek. Tapi jasa Bung Karno sebagai pemikir budaya
tidak sampai di situ. Ia menerima pula ide Haji Agus Salim, yang
dijulukinya The Grand Old Man, julukan itu juga diterima dan menjadi
populer dalam wacana gerakan Islam di Indonesia , walaupun Haji Agus
Salim pernah memberikan kritik tajam terhadap gagasan nasionalisme Bung
Karno, untuk membangun Masjid Baitul Rahim, sebuah masjid di halaman
istana negara dengan arsitektur yang indah, yang seringkali dibandingkan
dengan gereja.
Visi Bung Karno tentang masjid mencapai puncaknya
dengan pendirian masjid Istiqlal, yang merupakan pengakuan terhadap
jasa umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, karena Istiqlal artinya
adalah kemerdekaan, yang arsteknya adalah seorang Nasrani, Ir. Silaban.
Itu semua mencerminkan pandangan keagamaan Bung Karno yang luas dan
terbuka. Sulit menemukan pandangan seorang pemikir Muslim yang se
liberal Bung Karno. Namun demikian, Bung Karno tetap saja tidak diakui
sebagai seorang pemimpin Islam atau pemimpin umat Islam dan juga tidak
diakui sebagai seorang pemikir Islam. Atau dalam rumusan yang lebih
kena, seperti kata Bambang Noorsena, para pengritiknya dari kalangan
politisi Islam, meragukan kemurnian keislaman Bung Karno. Syed Husein
Alatas, seorang sosiolog Malaysia, yang lama mengajar di Universitas
Singapore, pernah menulis buku tentang Islam dan Kita, dan dalam buku
itu ia menampilkan empat tokoh nasional Indonesia dan kaitannya dengan
Islam. Di situ ia menyebut Bung Karno sebagai seorang pemimpin Muslim
namun tidak memiliki komitmen perjuangan Islam dan bahkan secara politis
menantang Islam. Tokoh yang disebutnya pemimpin Islam yang ideal adalah
Syafruddin Prawiranegara, seorang terpelajar yang mempunyai pemikiran
tentang Islam dan memiliki komitmen pula terhadap gerakan dan politik
Islam. Ada dua orang tokoh lagi yang ia bahas, yaitu Sutan Syahrir dan
Tan Malaka. Syahrir adalah seorang yang lahir dari keluarga Muslim di
Minangkabau, tempat kelahiran banyak pemimpin Islam, antara lain Haji
Agus Salim dan Mohammad Natsir, tetapi ia ketika telah menjadi pemimpin
telah tercerabut (uprooted) dari lingkungan masyarakatnya dan menjadi
tak acuh (indefferent) ter-hadap Islam. Sedang Tan Malaka adalah seorang
yang masih mengaku Muslim, mempunyai pengetahuan dan pemikiran mengenai
Islam, tetapi pada dasarnya ia adalah seorang komunis yang ingin
memperalat Islam dan kaum Muslim untuk mencapai tujuan perjuangan
komunisme di Indonesia. Bung Karno, sebagai seorang Muslim adalah
kebalikan dari Syahrir. Ia memang berasal dari keluarga abangan dan baru
pada umur 18 tahun berkenalan dengan Islam. Namun kemudian ia
berkembang menjadi seorang Muslim, walaupun belum bisa atau mungkin juga
tidak mau disebut santri. Walupun begitu, orang seperti A. Hassan atau
Mohammad Natsir, tidak meragukann keyakinannya terhadap Islam.
Barangkali ia tepat disebut sebagai seorang muslim marginal.
Ada
beberapa faktor yang membentuk persepsi orang terhadap Bung Karno.
Pertama ia dianggap memiliki latar belakang dan masih dipengaruhi agama
Hindu dan Buddha, atau mungkin masih dipengaruhi oleh apa yang disebut
oleh antropolog Clifford Geertz, agama Jawa. Ajaran pewayangan masdih
nampak mempengaruhinya, walaupun ia adalah seorang yang mendapatkan
pendidikan modern Barat. Kedua, ia sering menyatakan dirinya sebagai
penganut Marxisme atau paling tidak mempergunakan (sebagian) teori
Marxis dalam analisis-analisis nya Dalam suatu rekaman wawancara yang
diberi judul Tabir adalah lambang Perbudan (Panji Islam, 1939), ia
pernah berkata dengan bangga: Saya adalah murid dari Historische School
van Marx. Pernyataan ini sangat berani, karena pengakuannya itu
dikeluarkan justru ketika ia sedang berebicara mengenai Islam ,
khususnya pandangan Islam mengenai perempuan. Satu hal yang tidak bias
kita abaikan adalah Bung Karno mendapatkan gelar doktor honoris causa di
bidang tauhid, oleh sebuah lembaga pendidikan agama yang prestisius,
IAIN Syarif Hidayatullah, bahkan juga mendapat gelar honoris causa di
bidang filsafat oleh Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Gelar itu tidak
mungkin diberikan oleh sebuah universitas Islam seperti Al Azhar, jika
lembaga itu meragukan iman Bung Karno dalam ketauhidan. Pada waktu muda,
Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat islam dan Partai Sarekat
Islam. Memang ia kemudian keluar dari partai itu dan mendirikan sendiri
PNI bersama-sama dengan kawan-kawan nasionalis yang sepaham yang
menganut aliran nasionalis sekuler. Tapi ia tetap mempertahankan
citranya sebagai seorang Muslim, antara lain dengan bergabung dengan
Muhammadiyah, sebuah organisasi yang berfaham tauhid keras (hard
tauhid). Ia bahkan aktif sebagai anggota pengurus lokal, ketika berada
dalam pembuangannya di Berkulu. Sebagai anggota dan aktivis
Muhyammadiyah, Bung Karno pernah mengeluarkan semboyan yang kemudian
menjadi sangat populer dan menjadi semboyan semua anggota Muhammadiyah,
yaitu Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Konon ia pernah berwasiat,
jika meninggal dunia, ia diusung dalam keranda yang di-tutup dengan
bendera Muhammadiyah. Soekarno muda memang banyak berkenalan dan
dipengaruhi oleh Islam aliran Persatuan Islam yang diasuh oleh A.
Hassan, dimana seorang pemimpin Islam terkemuka, Mohammad Natsir
dididik. Ia pernah pula mengaku tertarik dan belajar banyak dari
pemikiran Ahmadiyah. Tapi pilihan ter-akhirnya adalah Muhammadiyah yang
beraliran sebersih-bersih tauhid. Bung Karno mulai belajar Islam secara
serius, ketika ia meringkuk di penjara sukamiskin, Bandung, dari mana ia
membaca terbitan-terbitan Persatuan Islam, yang kini mungkin disebut
sebagai aliran fundamentalisme Islam, sebagaimana Al Islam, Solo, dimana
M. Amien Rais pernah lama belajar. Kegiatan belajarnya makin intensif
ketika ia berdiam di Endeh, Flores. Di situ dan pada waktu itulah ia
berkorespondensi dengan A. Hassan, pemimpin lembaga pendidikan Persatuan
Islam yang mula-mula berpusat di Bandung tapi kemudian berpindah ke
Bangil, Jawa Timur hingga sekarang ini yang dikenal sebagai penerbit
majalah Al Mu-slimun. Tapi, sebelum masa Surat-surat dari Endeh itu,
Soekarno muda sudah memiliki persepsi tentang Islam, yang agaknya ia
peroleh dari guru dan sekaligus mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto.
Persepsinya mengenai Islam adalah, bahwa Islam adalah sebuah agama yang
sederhana, rasional dan mengandung gagasan kemajuan (idea of pro-gress)
dan egaliter. Di balik perhatiannya terhadap islam sebagai ajaran,
Soekarno muda sebenarnya menaruh perhatian terhadap masyarakat Islam
atau kondisi umat Islam, dalam konteks kolonialisme dan imperialisme. Di
samping ingin memperdalam ajaran-ajaran Islam, baik dari segi ibadah
maupun siyasah (politik) dan mu’amalah (sosial-ekonomi), Soekarno
menaruh perhatian terhadap aspek masyarakat dan paham-paham
keagamaannya. Dalam melihat segi-segi kemasyarakatan, Soekarno yang
terlibat dan memimpin pergerakan nasional dan mempelajari ilmu-ilmu
sosial dan sejarah, termasuk membaca karya-karya Karl Marx, merasa
kecewa dan tidak menyetujui paham-paham Islam tradisional. Soekarno
muda, walaupun masih dan ingin belajar tentang Islam, namun sudah berani
menyatakan pendapat-pendapatnya yang kritis. Soekarno muda yang sangat
energetik itu, menyerang doktrin taklid dan sikap menutup pintu ijtihad.
Ia menantang kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan anti-rasionalisme yang
dianut oleh masyarakat Muslim Indonesia. Ia berpendapat, bahwa Islam
telah disalah-tafsirkan, karena umat Islam dan para ulamanya lebih
percaya dan berpedoman kepada hadist-hadist dan pendapat ulama, dari
pada berpedoman kepada al Qur’an. Ia pernah meminta kiriman buku
kunpulan hadist Bukhari, karena ia mencurigai beredarnya hadist-hadist
palsu yang bertentangan dengan al Qur’an. Di sini Soekarno muda sudah
memasuki pemikiran kritik hadist, yang hanya baru-baru ini saja menjadi
perhatian studi akademis. Pandangan Soekarno itu memang tidak baru,
karena tema-tema itulah yang telah dibawa oleh gerakan Muhammadiyah yang
beraliran moderbis. Karena itu, maka Soekarno muda sebenar-nya adalah
penganut paham Islam modernis.
Dalam mempelajari Islam, Bung
Karno meminta bahan-bahan dari Persatuan Islam Bandung, ia ingin
mencocokkan dengan pandangannya sendiri. Ia ingin membaca buku The
Spirit of Islam yang terkenal karya Syed Ameer Ali umpamanya, untuk
dibandingkan dengan pandangannya sendiri. Karena ia telah memiliki
persepsi dan asumsi mengenai ajaran Islam, maka ia ingin menampilkan
pandangannya sendiri tentang Islam. Ia berfikir, hendaknya dilakukan
kritik terhadap paham-paham Islam yang tradisional, untuk kemudian
dikembalikan kepada sumber ajaran Islam yang paling autentik, yaitu al
Qur’an. Anehnya, Soekarno yang bersemangat itu, menganjurkan dipakainya
ilmu pengetahuan modern (modern science), seperti ilmu-ilmu sosial,
biologi, astronomi atau elek-tronika untuk memahami al Qur’an.
Dalam perkataannya sendiri:
Bukan sahaja kembali kepada al Qur’an dan Hadist, tetapi kembali kepada
al Qur’an dan Hadist dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.
Ia bersikap kritis terhadap kitab-kitab tafsir, seperti ka-rangan
Al-Baghawi, Al-Baidhawi dan Al Mazhari, karena tafsir-tafsir itu belum
memakai ilmu pengatahuan modern.
Pandangan jauhnya terlihat dalam ucapannya sebagai berikut:
Bagaimana orang bisa betul-betul mengerti firman Tuhan bahwa segala
sesuatu itu dibikin oleh Nya ‘berjodoh-jodohan’, kalau tak mengetahui
biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif,tak
me-ngetahui aksi dan reaksi?. Bagaimana orang bisa mengatahui
firmanNya, bahwa kamu melihat dan menyangka gu-nung-gunung itu barang
keras, padahal semuanya itu berjalan selaku awan, dan sesungguhnya
langit-langit itu asal-muasalnya serupa zat yang berlaku, lalu kami
pecah-pecah dan dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air,
kalau tidak mengerti sedikit astronomy? Dan bagaimanakah mengerti
ayat-ayat yang meriwayat kan Iskandar Zulkarnain, kalau tidak mengerti
sedikit history dan archeology?
Pendekatan inilah yang kelak diikuti oleh scientist Muslim seperti Sahirul Alim, Ahmad Baiquni atau M. Immaduddin Abdurrahim.
Ia menganjurkan agar umat Islam itu tidak menengok ke belakang,
termasuk hanya mengagumi dan mengaung-agung kan zaman kejayaan Islam
(Islamic Glory), melainkan melihat jauh kemuka. Kuncinya adalah membuang
jauh sikap anti-Barat secara priori. Ia juga mengecam sikap tradisional
yang disebutnya sebagai semangat kurma dan semangat sorban. Saran lain
yang dikemukakannya adalah tidak terpaku pada yang halal dan haram saja,
tetapi juga kepada hal-hal yang mubah dan jaiz, dimana umat Islam
mempunyai kemerdekaan berfikir, sesuai dengan hadist nabi “Engkau lebih
tahu mengenai masalah duniamu (antum a’lamu bi umuri duniakum).”
Tidak saja di lapangan pemikiran, Soekarno banyak menganjurkan
perhatian, tetapi juga di bidang da’wah. Ia mengagumi kegiatan misi
Katholik di Flores dan menganjurkan agar hal yang sama bisa dilakukan
oleh da’wah Islam.
Kritik Soekarno muda memang blak-blakan dan
keras, sehingga ia sendiri merasa bisa disalah-pahami sebagai
anti-Islam. Walaupun menyadari risiko itu, ia tidak berhenti mengkritik
paham-paham Islam yang kolot. Tapi lebih tepatnya, di bidang da’wah ia
lebih bersimpati kepada muballig-muballig yang modern-scientific dan
mengecam muballig-mubalig ala kyai bersorban dan ala hadramaut. Ia
sangat menghargai umpamanya, muballig seperti Mohammat Natsir yang
menulis Islam dalam bahasa Belanda untuk kaum terpelajar.
Ia
agaknya menginginkan, agar umat Islam mengembangkan segi keduniaanya
yang nabi Muhammad saw telah me-mberikan kebebasan berfikir. Dalam
rumusannya sendiri ia berkata:
Kita tidak ingat bahwa Nabi saw
sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri
perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan
tidak haram atau tidak makruh. Kita royal sekali dengan perkataan kafir ,
kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir.
Pengetahuan Barat-kafir, radio dan kedokteran – kafir pantalon dan dasi
dan topi-kafir, sendok dan garpu dan kursi-kafir, tulisan Latin – kafir,
ya pergaulan dengan bangsa yang bukan Islampun – kafir ! Padahal
apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Roch Islam yang berkobar-kobar,
bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan,
tetapi …. dupa dan korma dan jubah dan celak mata !
Kritik-kritik
terhadap Islam tradisional yang kolot, memang terasa tajam. Tetepi
espresi itu sebanarnya jus tru menunjukkan sikap jujurnya. Ia tidak
takut dicap anti-Islam. Namun sikap yang sangat menghendaki kemaju an
itu agaknya pernah menimbulkan kejengkelan A. Hassan, sehingga Soekarno
mudah dituduhnya telah kebablasan , sehingga cenderung menghalalkan apa
yang dalam fiqih disebut haram. Soekarno memang banyak mengkritik
pemikiran dan cara berfikir fiqih dan cara berfikir taqlid terhadap
ulama terdahulu. Ia menginginkan ber-fikir dan melakukan reinterpretasi
langsung kepada al Qur’an dan Hadist yang sahih, sebab ia percaya bahwa
Hadist yang sahih tidak bertentangan dengan rasionalisme dan
kemoderanan.
Memang kritik-kritik Haji Agus Salim, A. Hassan dan
Mohammad Natsir, ada kalanya cukup telak, misalnya dalam mengoreksi
paham cinta tanah air yang bisa menjerumuskan kita ke dalam
memberhalakan tanah air, bangsa dan ras.
Soekarno juga tidak
merasa dendam terhadap para pengeritiknya, bahkan ia sangat menghargai
pemikiran semacam dari Haji Agus Salim dan Natsir. Ketika Bung Karno
telah menjadi Presiden RI, ia bahkan mengangkat Natsir sebagai
sekretarisnya yang sangat ia percaya. Banyak yang menyayangkan bahwa
hubungan Natsir-Soekarno itu retak. Kalangan Islam sendiri banyak
menyayangkan sikap Natsir umpamanya, mengapa ia tidak memelihara
hubungan dengan Soekarno, malahan lebih dekat dan dalam politik bahkan
mengikut kepada Syahrir
Kritik-kritiknya terhadap paham Islam
tradisional, betapapun tajam dan kerasnya. Kritiknya yang jelas
terpampang dalam tulisannya yang berjudul: Tabir adalah lambang
Perbudakan, Tabir tidak diperintahkan oleh Islam.
Tapi di sini,
nampak prasangka baik Bung Karno terhadap Islam. Ia tidak menantang
ajaran Islam itu sendiri, melainkan mengatakan bahwa tabir itu tidak
diperintahkan Islam. Ia tidak percaya bahwa mensekat kelompok laki-laki
dan perempuan itu adalah perintah Islam. Pandangan Bung Karno itu
ternyata dibenarkan oleh Haji Agus Salim. Tapi sikap Bung Karno sendiri
tegas dan uncompromising. Ia bahkan pernah protes dengan meninggalkan
suatu pertemuan Muhammadiyah, karena pertemuan itu membuat tabir,
padahal ia melihat tabir adalah lambang perbudakan perempuan.
Soekarno muda sendiri tertarik kepada Islam karena wacana Sheikh
Mohammad Abduh dan syed Jamaluddin Al afghani yang dikenal sebagai
pelopor faham Islam modernis yang dikiuti oleh Masyumi dan Muhammadiyah.
Soekarno muda mengakui adanya apa yang disebut Islamisme yang merupakan sebuah ideologi, seperti Marxisme dan Nasionalisme.
Tapi konsep Islamisme itu sendiri tidak lagi berkembang, selain
beberapa tulisan Mohammad natsir tentang konsep negara dalam Islam atau
islam sebagai dasar negara yang masih bersifat sangat umum. Hal ini
menunjukkan betapa telah majunya pemikiran Bung Karno mengenai
kemungkinan dikembangkannya sebuah ideologi Islamisme. Disini kita tidak
melihat bahwa Bung Karno itu anti Islam-politik.
Masih tentang Islam Bung Karno pernah menjelaskan:
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu,
ialah musuh Islamisme pula! Sebab meer warde sepanjang Marxisme, dalamn
hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meer
warde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberi
bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang
bekarja mengeluarkan untung itu, –teori meerwarde itu disusun oleh Karl
Marx dan Frederich Engels yang menarangkan asal-asalnya kapitalisme
terjadi. Meerwarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang
bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwarde inilah kaum Marxisme
meme-rangi kapitalisme sampai pada aker-akarnya !
Pandangannya
yang menyeluruh dan terbuka menganai islam digambarkan dalam karangannya
dalam Panji Islam (1940) tentang Me `muda’ kan Pengertian Islam. Dalam
karangannya itu ia antara lain mengemukakan preporisi tentang
flkesibilitas hukum Islam. Ternyata pandangannya ini dikecam secara
tajam dan sinis oleh A. Hassan. Padahal, Soekarno hanyalah mengutip
pandangan Sayid Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam. Cuma
Soekarno mempergunakan istilah yang kurang tepat, yaitu mengumpamakan
fleksibilitas itu dengan karet, sehingga ditangkap oleh A. Hassan, bahwa
Soekarno menganggap hukum Islam itu seperti hukum karet:
hukum yang jempol haruslah seperti karet, katanya, dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam.
Padahal menurut citranya, hukum itu haruslah tegas untuk menjamin apa yang disebut kepastian hukum.
Dalam tulisannya mengenai memudakan pengertian Islam itu Bung Karno
sebenarnya ingin memajukan Islam dan masyarakat Islam. Ia ingin agar
Islam yang telah dimudakan itu mampu membawa dan menjadi motor
per-ubahan kemasyarakatan. Hanya saja di dalam kehidupan politik, Bung
Karno tidak menyetujui penggunaan simbol Islam. Ia ingin Islam masuk ke
dalam paham kebangsaan. Ia juga mengecap sistem ketata-negaraan Islam
menyetujui sistem demokrasi parlementer yang dianggapnya sebagai
demokrasi borjuis itu. Agaknya ia berharap Islam mempunyai konsep
sendiri mengenai demokrasi yang mengarah kepada gagasan demokrasi
terpimpin , yang kira-kira demokrasi yang berdasarkan permusyawaratan
daripada berdasarkan kebebasan yang memberi peluang bagi tumbuhnya
kapitalisme itu.
Di dalam spektrum kepemimpinan Islam di
Indonesia, Bung Karno menduduki posisi yang unik. Ia menyumbang kan
pemikiran-pemikiran Islam dengan analisis ilmu-ilmu sosial modern yang
tidak dilakukan oleh pemimpin Islam manapun. Jika seandainya tidak ada
orang seperti Bung Karno di kalangan umat Islam, seorang Bung Karno
perlu ditemukan, separti kata-kata Paul Samualton terhadap Milton
Friedman, bahwa seorang seperti dia should be invented. Karena itu
diskusi ini sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan rediscovery mengenai
Bung Karno sebagai pemikir Islam yang orisinal. Dan bukannya
kontroversial. Upaya ini merupakan argumen bahwa Bung Karno bukanlah
seorang sikretis, melainkan seorang penganut agama tauhid yang murni,
sebagai-mana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Muhammadiyah.
di kutip dari buku sejarah sang pahlawan indonesia.