Wednesday, 28 September 2016

Arti istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Arti dari firqotunnajiah adalah golongan yang selamat. Yang dimaksud golongan yang selamat adalah golongan selamat yang tidak memasuki neraka sebelum mereka memasuki jannah. Hal ini telah dikhabarkan oleh Rosululloh shallallohu `alaihi wa sallam pada hadits-haditsnya. Dalam hadits-hadits tersebut telah dijelaskan sifat-sifat global dari golongan tersebut di antaranya:
Mereka yang berjalan mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.
Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah mereka yang mengikuti ajaran-ajaranku dan sahabat-sahabatku dalam mengerti dan meniti Islam, dalam memahami dan melaksanakan Islam (dengan kata lain mengikuti sunnah).”
Sunnah itu sendiri mempunyai banyak arti, yang hampir semuanya merupakan lingkaran-lingkaran yang terkadang berbeda-beda besarnya, yang masing-masing berada di dalam yang lainnya. Arti-arti itu dari arti yang terluas sampai arti yang tersempit sebagai berikut:
  • 1. Mencakup seluruh isi agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits, mencakup seluruh keadaan Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam dari segi ilmiah dan amaliah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh-:
إِذِ السُّنَّةُ هِيَ الشَّرِيْعَةُ وَهِيَ مَا شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ مِنَ الدِّيْنِ
Sunnah itu adalah syari’ah yaitu apa-apa yang disyari’ahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya“. 
  • 2. Sunnah dalam arti lawannya bid’ah. Arti ini pun bisa mencakup seluruh ma’na, sebab bid’ah adalah lawannya Al Qur’an dan Al Hadits. Bersabda Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنْ السُّنَّةِ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
Tidak ada satu bid’ah pun yang dilakukan oleh suatu kaum, kecuali dicabut satu sunnah tandingannya. Maka, berpegang teguh dengan sunnah lebih baik daripada membuat bid`ah “.
  • 3. Sunnah dalam arti hadits Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam
  • 4. Sunnah dalam arti ushuluddin yaitu dasar-dasar agama dan aqidah.
Ibnu Rojab –rohimahulloh- berkata:
وَإِنَّمَا خَصُّوا هَذَا الْعِلْمَ بِإِسْمِ السُّنَّةِ لأَنَّ خَطَرَهُ عَظِيْمٌ وَالْمُخَالِفَ فِيْهِ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
Banyak dari ulama mengkhususkan ilmu aqidah dengan nama sunnah, karena urgensi aqidah adalah agung yang mana setiap penyimpangnya berada dalam bahaya besar”.
Banyak pula buku-buku salafus soleh yang berjudul “As sunnah” yang berisi ilmu-ilmu aqidah seperti As-Sunnah yang ditulis oleh Abu Bakr Al-Atsram (W. 272 H), Kitabussunnah yang ditulis oleh Ibnu Abi `Asim (W. 287 H), As Sunnah yang ditulis oleh Muhamad Bin Nasr Al Mirwazi (W. 294 H), Sorihus sunnah yang ditulis oleh Ja’far At Thobari (W. 310 H) dan lain-lain.
  • 5. Sunnah dalam arti nafilah atau mustahabbah yang arti-nya amal-amal yang kalau dikerjakan diberi pahala dan kalau ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa




B.  Jama`ah
Dalam bahasa, arti jama`ah adalah persatuan atau orang-orang yang bersatu. Dalam arti Istilah, jama`ah sama dengan arti bahasa dengan tambahan “di atas Sunnah”. Hal ini berkaitan dari adanya dua kalimat yang berbeda untuk satu ma’na yaitu “Jama`ah” dan “mereka yang mengikuti jejakku dan jejak sahabat – sahabatku”, jadi kalimat yang kedua (di hadits yang kedua) menafsirkan arti jama`ah (yang ada di hadits yang pertama).
Dengan demikian arti jama’ah dalam istilah berarti “persatuan di atas sunnah” atau “orang orang yang bersatu di atas sunnah”. Demikianlah keadaan sahabat dalam kehidupan mereka, dari itu jama`ah yang ber arti “sahabat” adalah penafsiran yang benar. Dengan berpegang pada arti-arti di atas, maka tafsiran Al-Imam Bukhori serta ulama salaf lainnya dari peng ikut – pengikut mereka, bahwa jama`ah adalah “kaum ulama sunnah” termasuk dalam tafsiran-tafsiran yang benar. Arti jama`ah secara syari`at juga “jama`atul mus limin (Jama`ah Ahlus Sunnah) yang dipimpin oleh seorang imam
C.  Sawadul A’dzom  atau  Mayoritas Umat 
Kalimat ini bisa mengandung dua arti: “Mayoritas Umat“ pada zaman sahabat, karena mereka memang berada di atas sunnah. Arti yang kedua adalah mayo ritas umat setelah sahabat sampai hari kiamat yang “mengikut sunnah dan sahabat”.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan kita tadi tentang sunnah dan jama`ah kita dapati bahwa firqoh najiah adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah dan jama`ah. Setelah wafatnya Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam, firqoh-firqoh dhollah mulai bermunculan keluar dari sunnah dan jama`ah, maka firqoh yang tidak keluar dari sunnah dan jama`ah yaitu firqotunnajiah pun mulai secara resmi menamakan diri mereka dengan nama “Ahlus Sunnah Wal Jama`ah”.
Penamaan ini di ambil dari hadits-hadits Rosululloh Shallallohu `alaihi wa sallam tentang iftiroq umat dan dari ilmu mereka yang meyakinkan bahwa asas dan dasar keselama tan di dunia dan di akhirat adalah berpegang teguh pada sunnah dan jama`ah, secara singkat mereka juga disebut Ahlussunnah.
Untuk lebih jelasnya kita definisikan Ahlussunnah wal Jama`ah sebagai berikut:
Golongan yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah serta pemahaman dan penerapan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan Islam“.
Termasuk dalam golongan mereka para sahabat rosul, tabi`in, tabi’it tabi`in, kaum ulama sunnah dan para pengikut mereka (dari semua lapisan umat) sampai hari kiamat“.
Ahlussunnah adalah seluruh kaum muslimin, setelah dikecualikan Ahlul Bid’ah dan Ahlul Furqoh”.
Definisi ini berdasarkan suatu ketetapan di dalam Islam bahwa ummat ini terbagi dua golongan yaitu golongan yang berada di atas sunnah wal jama’ah dan golongan yang berada di jalan bid’ah. Ketika definisi ahlul bid’ah adalah mereka yang berpegang pada salah satu dasar bid’ah atau orang yang dilumuri bid’ah dalam kehidupannya, maka semua kaum muslimin yang tidak demikian adalah Ahlussunnah walaupun dia seorang yang jahil (bodoh). Di waktu yang sama, sekedar terkadang terjatuh pada suatu bid’ah tidak menjadikan seseorang itu sebagai  ahlul bid’ah.

 Lihat Kitab “Tahdzib Tashil Al `Aqidah Al Islamiyyah”, Dr. Abdulloh bin Abdul `Aziz Al Jibrin, h. 2-3

Baca Kitab “Hadits Iftiroq Al Ummah Ila Nayyif wa Sab`in Firqoh“, Muhammad bin Isma`il Al Amir Ash Shon`ani, h. 68-71

 (Majmu’ al Fatawa, 4/436)

Hr. Ahmad : 16356 hadits ini dhoif, karena Abu Bakar bin Abdulloh bin Muhammad Abu Sabroh.
 Syarh Al Kaukab Al Munir : 2/166

Jami` Al `Ulum wa Al Hikam : 495

Lihat kitab-kitab Fiqh
Lihat Kitab “Majmu` Al Fatawa”, Ibnu Taimiyyah : 3/157. “Syarh Al `Aqidah Al Wasitiyyah”,
Al Harros : 16. “Fathul Bari”, Ibnu Hajar Al `Asqolani : juz 13 dan “Al I`tisom”, Asy Syathibi : juz 2.

 An Nihayah : 2/419 dan Al I`tishom : juz 2

 Ibnu Abbas rodiyallohu `anhuma ketika mentafsirkan ayat (Qs. 3 : 106 “Pada hari wajah-wajah putih berseri dan wajah-wajah lain yang hitam”) beliau berkata :
Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam adalah ahlul bid`ah dan dholalah“. (Hr. Al Lalikai : 1/72)

Sumber-Sumber Kesesatan




Saat menjelang wafatnya,  salah satu pesan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya adalah hendaknya mereka berpegang teguh kepada dua perkara yang sangat berharga; yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau menjamin siapa saja yang berpegang teguh kepada keduanya, maka jalan hidup mereka tidak akan tersesatkan.
Kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini benar-benar telah dibuktikan dengan nyata oleh orang-orang yang berpegang teguh pada kedua pokok sumber ajaran Islam yang murni. Mereka hidup mulia, bersatu dalam dalam manhaj, bersatu dalam barisan, hingga mereka hidup jaya di bawah naungan al-Qur’an dan Sunnah Nabinya.
Namun seiring panjangnya perjalanan sejarah tibalah musibah besar yang belum pernah dialami oleh generasi pertama yang terbaik yaitu banyaknya perselisihan dan perpecahan yang begitu akrab dengan umat ini. Hal ini bukan dikarenakan sumber al-Qur’an dan as-sunnah telah musnah, akan tetapi banyaknya kaum muslimin yang tidak merasa puas jika hanya bersumber kepada keduanya, karenanya mereka menambah dengan sumber-sumber palsu yang dijadikan rujukan, bahkan ada yang dijadikan sebagai pengganti dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sumber-sumber palsu yang menyesatkan tersebut di antaranya:
  • 1.   Hawa Nafsu
Hawa nafsu biasanya lebih kuat dari ilmu seseorang, sehingga hawa nafsu diikuti dan ilmu ditinggalkan
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya...” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Karena mengikuti hawa nafsu inilah seseorang banyak yang terhalangi  untuk menerima kebenaran. Sebagaimana firman Alloh subhanahu wata’ala:
“..Ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun..” (QS. Al-Qoshosh: 50)
  • 2.    Akal
Akal pada asalnya merupakan tempat bergantungnya taklif hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum Alloh subhanahu wata’ala.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ  الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ
Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak kecil sehingga baligh.[HR. Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthni]
Akan tetapi akal sifatnya terbatas sehingga akal tidak bisa menembus di luar jangkauannya, oleh karenanya akal tidak bisa dijadikan sebagai tandingan syari’at, akal hanya diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu.
Imam Az-Zuhri berkata:
( مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ )
“Risalah berasal dari Alloh, tugas Rosul-Nya adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima dengan sepenuhnya .”
Jadi, dalil yang shohih akan selalu selaras dengan akal yang sehat begitu pula akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan nash yang shohih..
  • 3.   Mimpi
Apa pun bentuknya, mimpi tidak bisa dijadikan dalil Syari’ah, bahkan mimpi bertemu Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM sekalipun. Walaupun memang ada yang dinamakan “ru’yah sodiqoh” (mimpi benar yang bermakna), akan tetapi mimpi tetap tidak bisa dijadikan sebagai sumber kepercayaan, atau sebagai pijakan bagi perintah dan larangan, karena Islam telah sempurna sepeninggal Rosululloh.
Imam Asy Syathibi berkata : “Di antara contohnya jika seorang Hakim (Qodhi) yang telah mendengar kesaksian dari dua orang saksi yang adil, lalu Hakim tersebut bermimpi melihat Rasulullah SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM berkata bahwa kedua saksi itu tidak adil, maka mimpi itu harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip syari’at (maupun kaidah – kaidahnya)..” [Al-Muwaafaqaat, Asy-Syathibi, II/266-268]
  • 4.   Ilmu Kasyaf (Penyingkapan Tabir Ghaib)
Beberapa aliran Tashallallahu ‘alaihi wasallamuf  memandang bahwa ilmu kasyaf adalah ilmu yang diterima secara yakin, sehingga dapat dijadikan tambahan bagi syari’at. Bahkan mereka sering mendahulukan ilmu kasyaf daripada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ibnu Taimiyah berkata:
“… Setiap yang memiliki Mukasyafah jika tidak ditimbang dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka akan terjerumus pada kesesatan..” [Dar’u Ta’arudhu, ‘Aql wa nakl, 5/348]
  • 5.   Khurofat Dan Cerita-Cerita Bohong
Ketika manusia bersandar kepada khurofat dan cerita-cerita bohong maka mereka akan tenggelam dalam kesesatan dan kegelapan dengan tanpa petunjuk. Pemahaman mereka menjadi rusak, hingga akhirnya hanya khurofat dan cerita-cerita bohong yang menjadi patokan hukum, baik dalam aqidah, amaliyah dan hubungan kemasyarakatan di antara mereka, seperti ketergantungan kepada tukang sihir dan dukun, pengagungan terhadap Jin atau Setan serta mudah terpengaruh oleh ramalan buruk dan lain sebagainya.
  • 6.   Kitab-kitab sesat
Seperti halnya kitab primbon yang selalu dipakai oleh para penganut kebatinan yang mengaku sebagai orang Islam. Primbon ini sedikitnya membicarakan tentang perhitungan hari baik dan hari buruk, ramalan-ramalan ghaib, perhitungan mengenai tempat tinggal dan lain sebagainya.  Kitab yang lebih sesat lagi adalah Tadzkirah sumber rujukannya Ahmadiyah yang kafir namun masih ingin disebut Islam, kitab alkafy; sumber rujukan agama syi’ah kafir yang tetap mengklaim sebagai agama Islam, dan lain sebagainya.
Maha benar Alloh subhanahu wata’ala yang telah berfirman:
Barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami leluasakan dia di kesesatannya yang telah dijalaninya itu, dan kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.(QS. an-Nisa’: 115).
Pembaca yang budiman…
Kitabulloh dan sunnah Nabi-Nya adalah jalan petunjuk dan jalan keselamatan, barangsiapa yang berpegang dengan keduanya dan berjalan di atas manhajnya; maka Alloh akan meluruskan jalannya, menjaga dari penyimpangan dan kesesatan. Dan barangsiapa yang berpaling dari keduanya dan meninggalkan larangannya. Maka Alloh akan membuatnya menyimpang dan menyesatkannya serta mencatat atasnya kerugian di dunia dan akherat.
Wallohu a’lam
 Penulis: Ust. Supendi

Syarat-syarat Syahadat



Diriwayatkan dalam suatu atsar bahwa kunci surga adalah لاإلةإلااللّه” (La ilaha illallah), tetapi apakah setiap orang yang mengatakannya berhak dibukakan pintu surge untuknya?
Seseorang bertanya kepada Wahb bin Munabih rahimahullah: Bukankah (La ilaha illallah) adalah kunci surge? Beliau menjawab: “Ya, tetapi setiap kunci mempunyai gerigi, jika Anda membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surge dibukakan untukmu, tetapi jika kunci surga Anda tak bergerigi, tidak akan dibukakan.”
Banyak hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam yang menerangkan tentang gerigi kunci ini, seperti sabda beliau: “Siapa saja mengucapkan لاإلةإلااللّه” (La ilaha illallah) dengan ikhlas ”, “dengan hati yang yakin”, “dia benar-benar mengucapkannya dari lubuk hatinya” dan ungkapan lain, dimana hadits-hadits ini, mengaitkan masuk surga dengan mengetahui makna kalimat itu, tetap teguh kepdanya sampai ajal menjelang, tunduk dan patuh terhadap maksudnya, dan lain-lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut, para ulama mengambil kesimpulan tentang syarat-syarat yang mesti dipenuhi, dalam kondisi terhindar dari segala factor penghalang, sehingga kalimat لاإلةإلااللّه” (La ilaha illallah) menjadi kunci pembuka pintu surga, dan berguna bagi orang yang mengucapkannya, dan syarat-syarat itu adalah gerigi kunci tersebut, yaitu:
  1. Ilmu (pengetahuan)
    Karena setiap kalimat mempunyai makna, maka Anda wajib mengetahui makna لاإلةإلااللّه” (La ilaha illallah) dengan pengetahuan yang bertentangan dengan sifat ketidak-tahuan, yaitu: menafikan sifat ketuhanan dari selain Allah, lalu menetapkan untuk Allah semata, artinya: tidak ada yang berhak disembah atau diberikan ibadah kecuali Allah.
Allah Subhanahu wata’ala  berfirman,
”Kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya).” ( Az-Zukhruf: 86)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam bersabda,
”Siapa saja meninggal dunia, sementara dia mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah, pasti masuk surga”.(HR. Muslim)

  1. Yakin
Yaitu benar-benar meyakini akan maksudnya, karena kalimat ini sama sekali tidak menerima keraguan, prasangka, dan kebimbangan. Akan tetapi wajib bertopang kepada keyakinan yang pasti dan kuat.  Allah telah berfirman menyebutkan sifat-sifat orang yang beriman,
” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.  (Al Hujarat: 15)
Tidak cukup sekedar mengucapkannya saja. Akan tetapi harus dengan keyakinan hati. Jikalau tidak demikian maka itu merupakan nifaq murni. Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam bersabda,
Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku adalah utusan Allah, tidak seorang hamba pun bertemu dengan Allah dengan membawa dua kalimat syahadat ini tanpa ada keraguan di dalamnya, kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)
  1. Menerima
Apabila Anda telah mengetahui dan meyakini, maka sepatutnya pengetahuan yang berkeyakinan ini memiliki pengaruh, yaitu: menerima setiap apa yang dituntut oleh kalimat ini dengan hati dan lidah. Jadi siapa saja yang menolak panggilan tauhid, dan tidak menerimanya, maka dia itu kafir, baik penolakan itu disebabkan oleh kesombongannya, keras kepala, atau kedengkian. Allah berfirman tentang orang kafir yang menolak kalimat ini dengan sombong,
” Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.” (Ash Shaaffaat: 35)
  1. Tunduk dan patuh
Tunduk dan patuh sepenuhnya terhadap tauhid. Ini merupakan pembuktian dan bentuk pengamalan dari keimanan. Hal ini terwujud dengan mengamalkan apa yang telah Allah syari’atkan dan meninggalkan apa yang Dia larang, sebagaimana firman Allah,
” Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
Inilah dia ketaatan yang sempurna.
  1. Kejujuran
Kejujuran dalam mengucapkannya, dengan kejujuran yang menghapus kedustaan; Karena siapa saja mengatakannya dengan lidahnya saja, sedangkan hatinya mendustakannya kalimat itu maka dia itu munafik. Dasarnya adalah firman Allah yang mencaci orang munafikin,
” Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya.” (Ali Imran: 167)
  1. Kecintaan
Seorang mukmin mencintai kalimat ini, dan senang mengamalkan sesuai dengan tuntunannya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkannya. Bukti kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya  yaitu mendahulukan kecintaan Allah, meskipun bertentangan dengan hawa nafsunya, loyal terhadap orang yang cinta Allah dan rasul-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, dan mengikuti rasul-Nya, serta menuruti jejak langkahnya dan menerima petunjuknya.
  1. Ikhlas
Bahwasanya mengucapkan kalimat itu, tiada yang ia inginkan kecuali Allah semata, Allah berfirman,
” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam bersabda,
”Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada api neraka orang yang mengucapkan لاإلةإلااللّه(La ilaha illallah) karena mengharapkan dengan itu Allah semata.”
Meskipun syarat-syarat ini sudah terpenuhi semua, namun demikian harus tetap teguh dan konsisten di atas kalimat ini sampai ajal tiba.
Sumber:
Tafsir Seper Sepuluh Dari Al Qur’an Al Karim, Berikut Hukum-Hukum Penting Bagi Muslim. http://www.tafseer.info

Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari Senin pagi, 9 Rabi’ul Awwal, tahun gajah. Bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan dari suku Quraisy, yaitu suku yang paling terhormat dan terpandang di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Dari suku Quraisy tersebut, beliau berasal dari Bani Hasyim, anak suku yang juga paling terhormat di tengah suku Quraisy.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , lahir dalam keadaan yatim. Karena bapaknya; Abdullah, telah meninggal ketika ibunya, Aminah, mengandungnya dalam usia dua bulan.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “ketika aku melahirkannya, dari farajku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syam”. Imam Ahmad, ad-Darimi dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir mirip dengan riwayat tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi irhashaat (tanda-tanda awal yang menunjukkan kenabian) ketika milad beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya; runtuhnya empat belas balkon istana kekaisaran, padamnya api yang sekian lama disembah oleh kaum Majusi, hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah airnya menyusut. Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan selain keduanya namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah melahirkannya, sang ibu segera membawa bayi tersebut kepada kakeknya, Abdul Muttholib. Betapa gembiranya sang kakek mendengar berita kelahiran cucunya. Lalu dibawanya bayi tersebut ke dalam Ka’bah, dia berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhammad, nama yang belum dikenal masyarakat Arab waktu itu. Lalu pada hari ketujuh setelah kelahirannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  dikhitan.
Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang bernama Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin ‘Abdulul Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin ‘Abdul Asad al-Makhzumi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat-ayat Tentang Taubat dan Istighfar




Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Az-Zumar: 53).
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 110).
Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Asy-syuura: 25).
Orang-orang yang mengerjakan kejahatan kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-A’raf: 153).
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31).
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepadaNya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 74).
Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 104).
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8).
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaaha: 82).
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali-Imran: 135-136).
Firman Allah Ta’ala: “mereka ingat Allah” maksudnya mereka ingat keagungan Allah, ingat akan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, pahala dan siksa-Nya, sehingga mereka segera memohon ampun kepada Allah dan mereka mengetahui bahwasanya tidak ada yang dapat menagampuni dosa-dosa selain daripada Allah.
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu” yakni mereka tidak tetap melakukannya padahal mereka mengetahui hal itu dilarang, dan bahwa ampunan Allah bagi orang yang bertaubat daripadanya.
Dalam hadits disebutkan:
(( مَا أَصَرَّ مَنِ اسْتَغْفَرَ وَإِنْ عَادَ فِيْ اليَوْمِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً )) رواه أبو يعلى وأبو دادود والترمذي والبزار، وحسنه ابن كثير في تفسيره جزء 1 ص 408
Tidaklah dianggap melanjutkan perbuatan keji orang yang memohon ampun, meskipun dalam sehari ia ulangi sebanyak 70 kali.” (HR. Abu Ya’la, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al Bazzar dalam musnadnya, Ibnu Katsir mengatakan: hadis hasan; tafsir Ibnu Katsir, 1/408.
Disalin dari Risalah Ramadhan karya Syaikh Abdullah Bin Jarullah Bin Ibrahim Al Jarullah (Islamhouse.com)

Apakah agama islam itu?

Agamaku adalah islam, yaitu yang dituntunkan oleh Al-Quran dan Hadis Nabi mengenai peribadahan kepada Allah dan ketaatan terhadap-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali Imran: 19)
Jibril bertanya: “Wahai Muhammad, terangkan kepadaku tentang Islam!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Islam itu hendaklah engkau bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah, dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah. Mendirikan sholat. Menunaikan zakat. Berpuasa pada bulan ramadhan. Dan mengerjakan haji ke Baitullah jika engkau mampu menjalaninya.” (Shahih Muslim I/135)