Wednesday, 29 October 2014

Menakar Kemuliaan Akhlak

Setiap orang ingin merasakan kebahagiaan. Ada yang menyangka
dengan datangnyauang maka ia akan menjadi bahgia sehingga iapun mencari
uang mati-matian.Ada juga yang menyangka bahwa kedudukan bisa membuatnya
bahagia, maka ia pun mencoba merebut kedudukan. Ada yang menyangka
penampilanlah yang akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia
mengikuti mode. Ada yang menyangka banyaknya pengikut membuatnya
bahagia, begitu seterusnya.


Setiap kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka
bahwa itulah yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan
harapan pada selain kita, selain Allah. Padahal semakin kita berarap
orang lain berbuat sesuatu untuk kita maka sebenarnya peluang bahagia
itu malah akan terus menurun. Kenapa? Ibarat cahaya matahari yang
memancar tanpa membutuhkan input dari luar, kebahagiaan yang hakiki itu
justru datng bukan dari seseorang atau dari sesuatu.


Salah satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya
menggantungkan segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang mengenal
Allah dengan baik, dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah,
itulah salah satu kebahagiaan. Maka bagi kita yang selama ini masih
sangat ingin dihargai, masih sangat ingin dihormati, masih sangat ingin
dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin diberi ucapan terima kasih
ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau masih sangat ingin
dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan
dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. Barang siapa
yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah
mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan
bukannya diberi senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang
lain dan bukan disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami,
semakin kita tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka
inilah fondasi kita dalam menikmati hidup ini. Kenyataan yang ada di
masyarakat kita dengan terjadinya beraneka kemunkaran, kezhaliman dan
kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak berharap kepada
makhluk dan tidak kepada Allah.


Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw.
ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?” Maka jawaban
Rasulullah sangat singkat sekali, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi
hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” Menurut Imam Al
Ghazali, berdasarkan apa yangbisa saya fahami, akhlak itu adalah respon
spontan terhadap suatu kejadian. Pada saat kita diam, tidak akan
kelihatan bagaimana akhlak kita. Akan tetapi ketika kita ditimpa sesuatu
baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian
itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu
yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah
dari dalamlah kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa
harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau kita
memang sedang dikalem-kalem, tiba-tiba terjadi sesuatu pada diri kita,
misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar
bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar
dari mulut kita, maka lemparan yang keluar sebagai respon spontan kita
itulah yang akan menunjukkan bagaimana akhlak kita. Maka jika bertemu
dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau
jangan. Kita berfikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita
ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis. Terus… berfikir
keras hingga akhirnya kita pun memberi akan tetapi niatnya sudah bukan
lagi dari hati kita karena sudah banyak pertimbangan.Padahal keinginan
kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya
bukan akhlak dermawan yang muncul.


Saudar-saudaraku sekalian, inilah sekarang paling menjadi masalah
bagi peradaban kita. Kita empunyai anak, dia memiliki gelar yang bagus,
sekolahnya pun di tempat yang bergengsi, tapi akhlaknya jelek, maka
tidak ada artinya. Kita punya dosen, gelarnya berderet banyak, rumahnya
pun mentereng, tapi jikalau akhlaknya, celetuk-celetukannya atau
sinisnya tidak mencerminkan struktur keilmuan seperti yang dimilikinya,
maka jatuhlah ia. Ada orang yang dianggap dituakan, tetapi akhlaknya
jelek, maka walaupun ia dituakan, dia gagal mendapatkan penghormatan.
Atau kita punya atasan, seorang pejabat yang bagus karirnya akan tetapi
akhlaknya, …masya Allah, sudah punya isteri tapi ia dikenal berzina
dengan perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara tidak
halal, maka jatuhlah ia.


Sekarang ini krisis terbesar kita memang krisis akhlak. Oleh karena
itu, saya sependapat dengan seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang
mengatakan bahwa jikalau seseorang ingin memimpin perusahaan dengan
baik, maka sebetulnya skill atau keahlian itu cukup 10% saja, yang 90%
adalah akhlak. Karena akhlak yang baik, orang yang cerdas pun mau
bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa tersejahterakan lahir
batinnya. Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian kepada mereka
diberikan motivasi dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah prestasi
yang besar. Oleh karena itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik orang
yang berakhlak mulia.


Sekedar ilustrasi, suatu saat sedang terjadi dialog antara suami dan
isteri. Sang isteri menginginkan anaknya menjadi bintang kelas, akan
tetapi sang suami mengatakan bahwa bintang kelas itu bukan alat ukur
kesuksesan anak sekolah. Menjadi bintang kelas itu tidak harus, tidak
wajib. Yang wajib bagi anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia.
Apalah artinya ia menjadi bintang kelas apabila kemudian ia jadi
terbelenggu oleh keinginan dipuji teman-temannya. Jadi dengki terhadap
orang-orang yang pandai dikelasnya, atau menjadi takabbur karena
kepandaiannya itu. Apa artinya bintang kelas seperti ini? Lebih baik
lagi jika kita bangun mental anak kita lebih bagus, matang pada tiap
tahapannya. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas,
maka itu adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap
denga mentalnya: tidak dengki, tidak iri, tidak jadi sombong. Nilai ini
tentunya jadi lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya.
Apalah artinya kita lulus terbaik jika kemudian menjadi jalan ujub
takabbur. Lulus itu hanya nilai,nilai, nilai….


Saudara-saudara sekalian, inilah yang sepatutnya menjadi bahan
pemikiran kita. Kita berbicara seperti ini sebenarnya bukan untuk
memikirkan seseorang. Siapa yang akhlaknya demikian, demikian…Kita
berbicara seperti ini adalah untuk memikirkan diri kita sendiri. Apakah
saya itu berakhlak benar atau tidak? Bagaimana cara melihatnya?Ya, lihat
saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana respon spontan kita?
Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah kita cukup
temperamental? Apakah kata-kata kita keji, menyakiti, arogan? Itulah
diri kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini.
Bergantung apa yang kita lakukan. Apakah dengan DT bisa menjadi sebesar
ini sudah menjadi tanda kesuksesan? Belum. Masih jauh. Kalau hanya alat
ukur kemajuan bertambahnya bangunan atau tanah, ah… orang-orang kafir
juga bisa melakukannya. Kalau hanya sekedar jama’ah berhimpun banyak,
itupun gampang. Tetapi apakah dakwah ini elah mampu merobah akhlak kita?
Itulah alat ukurnya.


Sering diungkapkan, bagaimana ukuran kesuksesan seseorang dalam
berdakwah? Gampang. Kesuksesan seseorang yang berdakwah adalah apakah
dirinya pun bisa berubah menjadi lebih baik atau tidak? Kalau hanya
berbicara seperti ini, mengeluarkan dalil tapi yang bersangkutan
akhlaknya tidak berubah, itu malah mencemarkan agama. Kesuksesan dakwah
bukan karena banyaknya pendengar atau jumlah jama’ah karena dakwah itu
bukan sekedar menikmati kata-kata. Kesuksesan berdakwah adalah ketika
yang berdakwah ini pun semakin baik akhlaknya, semakin tinggi nilai
kepribadiannya. Insya Allah. Mudah-mudahan keluhuran pribadi itulah yang
menjadi alat dakwah kita. Bukan hanya mengandalkan kekuatan kata-kata
belaka.

Menakar Kemuliaan Akhlak

No comments:

Post a Comment