Wednesday, 29 October 2014

Sebaik-baik Manusia

 
 
Ternyata, derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana
dirinya punya nilai mamfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda,
“Khairunnas anfa’uhum linnas”, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah
yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh
mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai
mamfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri
ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah
manusia haram?


Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadannya
sangat dirindukan, sangat bermamfat, perilakunya membuat hati orang di
sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib,
diantaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga
orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak
kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul
kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit
kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat
nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga
silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih,
penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta
penuh kasih sayang.


Bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik itu perilaku melaknat,
memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki,
bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah,
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena
Allah SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.


Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya.
Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun
benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja
orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa
kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qolbu ini.
Orang yang wajib, adanya pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih
perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari
semburat kepribadian yang baik pula.


Orang yang sunah, keberadaannya bermamfaat, tetapi kalau pun tidak
ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa
kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan
amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan
tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan
orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke
rongga qolbu siapapun.


Orang yang mubah, ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja
atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan
menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah
pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa mamfaat, tidak juga
membawa mudharat.


Adapun orang yang makruh, keberadannya justru membawa mudharat. Kalau
dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya kalau dia datang ke suatu
tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang
ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi
ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah
lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah
seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.


Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap
menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi
ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini
dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.


Masya Allah, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada
diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau hanya
jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat mamfaat tidak dengan
kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib,
sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan
teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?


Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah
anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya mamfaat
tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah
atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada
para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau
hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?

Sebaik-baik Manusia

No comments:

Post a Comment